Demonstrasi, Mahasiswa, Kekuasaan, dan Amuk Massa

Diskursus kenegaraan kita tengah berada pada fase yang rumit. Kekuasaan publik kerap dipertontonkan secara vulgar oleh para menteri, wakil menteri, politisi, aparat kepolisian, dan berbagai figur publik.

Berbagai kebijakan dan pernyataan yang muncul justru terasa melukai rasa keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Tulisan ini mencoba mengupas dinamika tersebut. Meski tidak akan mampu memuaskan seluruh dahaga akan kejelasan, setidaknya menjadi refleksi atas kondisi bangsa saat ini.

Pilar Demokrasi dan Kebebasan Publik

Dalam sistem demokrasi, ada tiga pilar utama: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pers seringkali dianggap sebagai pilar keempat, yang menjadi penyeimbang kekuasaan.

Semua pilar ini seharusnya dapat diakses publik secara bebas, karena mereka adalah instrumen yang mengatur dan mewakili kepentingan rakyat.

Sayangnya, kebebasan ini kian tergerus. Mekanisme penyaluran aspirasi yang seharusnya dilakukan melalui legislatif dan eksekutif kerap buntu.

Produk-produk kebijakan, baik berupa undang-undang maupun APBN, lebih sering dipandang menguntungkan kelompok tertentu dibandingkan rakyat banyak.

Demonstrasi: Aspirasi yang Tersumbat

Demonstrasi muncul sebagai alternatif terakhir ketika kanal-kanal formal untuk menyampaikan aspirasi tersumbat. Hambatan ini bukan tanpa sebab.

Ada dominasi partai-partai politik, kepentingan oligarki, rente kekuasaan, hingga kebebasan pers yang terdegradasi oleh politik.

Bagi mahasiswa, demonstrasi adalah salah satu bentuk idealisme. Usia mereka, rata-rata 17 hingga 23 tahun, berada dalam fase fisik dan mental yang prima.

Mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, semangat berdiskusi, dan keberanian untuk mempertanyakan kebijakan negara.

Melalui diskusi, riset, dan jejaring intra maupun ekstra kampus, mahasiswa kerap menjadi motor pergerakan.

Mereka memunculkan isu-isu yang menyatukan berbagai latar belakang berbeda — universitas, organisasi, agama, hingga pandangan politik.

Dalam kondisi seperti sekarang, mahasiswa masih memandang persoalan bangsa secara hitam-putih, tanpa kompromi.

Kekuasaan dan Rasa Keadilan yang Terkoyak

Kekuasaan saat ini berada di tangan koalisi partai politik yang mengusung Presiden Prabowo. Namun, kepemimpinan lima tahun ini dinilai tidak mampu mengakomodasi keinginan semua elemen masyarakat.

Berbagai kebijakan justru dianggap melukai rasa keadilan. Misalnya, penerapan pajak yang agresif, pernyataan pejabat publik yang kontroversial, dan kebijakan ekonomi yang dinilai membebani rakyat kecil. Beberapa politisi pun memicu kemarahan publik melalui sikap dan ucapan yang tidak sensitif.

Di sisi lain, aparat kepolisian juga memikul beban ketidakpercayaan akibat sejumlah kasus yang belum tuntas dan tindakan oknum yang mencederai wibawa institusi.

Semua ini menambah panjang daftar kekecewaan publik terhadap penyelenggara negara.

Dari Demonstrasi ke Amuk Massa

Awalnya, demonstrasi dilakukan mahasiswa untuk merespons persoalan kebangsaan. Namun, situasi berkembang cepat.

Gelombang massa kemudian meluas, diikuti kelompok masyarakat lain yang merasakan dampak ketidakadilan.

Aksi yang awalnya berlangsung siang hari, kini merambah malam. Tujuan awal menyuarakan aspirasi berubah menjadi ekspresi kemarahan kolektif.

Amuk massa pun terjadi: perusakan fasilitas umum, penyerangan properti pejabat, hingga bentrok dengan aparat kepolisian.

Amuk massa biasanya mereda ketika keinginan kelompok progresif mulai terpenuhi, atau setidaknya ketika kanal aspirasi mulai dibuka kembali.

Namun, peristiwa ini meninggalkan luka mendalam dalam hubungan antara rakyat dan penguasa.

Menghentikan Luka, Menyulam Persatuan

Gus Irfan pernah berkata:

“Aku lebih sering menyesali apa yang telah aku ucapkan. Lidah memang tak bertulang, tetapi perkataan akan selalu diingat.”

Pernyataan ini menjadi peringatan bagi para pemegang kekuasaan. Kata-kata dan kebijakan yang melukai rakyat akan meninggalkan bekas yang sulit dihapus.

Indonesia adalah rumah bersama. Jika luka akibat kebijakan dan pernyataan terus dibiarkan, keindahan rumah ini akan memudar.

Sudah saatnya penguasa berhenti menyakiti rakyat dan kembali menjadikan keadilan serta kesejahteraan sebagai prioritas utama.